Selasa, 08 Oktober 2013




BAB I. PENDAHULUAN

Teknologi budidaya udang terus memerlukan penelitian dan pengembangan dari waktu ke waktu. Walaupun dalam dua dasawarsa terakhir telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, namun jika dibandingkan dengan teknologi pertanian (misalnya hortikultura) atau peternakan (misalnya unggas), teknologi budidaya udang masih sangat jauh ketinggalan. Teknologi pertanian dan peternakan telah mencapai tahap genetic engineering (rekayasa genetika) dimana secara genetik telah ditemukan bibit unggul yang lebih produktif dan tahan terhadap penyakit. Sedangkan teknologi budidaya udang  baru memasuki tahap genetic mapping (pemetaan genetika). Perkembangan terakhir teknologi budidaya udang difokuskan pada genetic improvement (perbaikan genetika) melalui proses seleksi induk secara ketat. Namun proses genetic improvement ini masih berada pada tahap seleksi secara alami.

Tingkat keberhasilan dari penerapan teknologi budidaya udang sangat bergantung pada tingkat penguasaan teknologi lingkungan perairan (sebagai tempat hidup udang) dan biologi udang itu sendiri. Lingkungan perairan merupakan ekosistem yang sangat kompleks, yang terdiri dari komponen biotik dan komponen abiotik. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang benar tentang ekosistem perairan (tambak) sehingga dapat senantiasa menjaga keseimbangannya. Disamping itu, pemahaman tentang biologi udang merupakan hal yang tidak kalah penting, mulai dari anatomi, morfologi, fisiologi, habitat dan kebiasaan makan sampai pada pemahaman structure genetiknya.

Kondisi geografis juga memberikan pengaruh yang berbeda dalam hal struktur dan tekstur tanah, kualitas fisika dan kimia air serta kandungan unsur hara. Demikian juga dengan perbedaan iklim dan perubahan cuaca. Ini semua akan mempengaruhi pola dan jenis teknologi yang diterapkan. Pengaruh yang muncul dari perubahan cuaca, juga terlihat pada tingkat penyerangan penyakit. Pada musim penghujan misalnya, biasanya jumlah tambak yang terinfeksi penyakit lebih banyak dibandingkan pada musim kemarau. Hal ini diakibatkan oleh tingginya potensi fluktuasi kualitas air (terutama temperatur dan salinitas) yang mengakibatkan meningkatnya potensi stres udang dan virulensi penyakit.

Dari gambaran kondisi di atas untuk  membuat  standar operasi (SOP = Standar Operation Procedure) dalam budidaya udang  relatif sulit. Namun demikian, dengan menyadari dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan budidaya udang serta variasi kondisi alam tersebut,  dapat disusun sebuah buku panduan yang mencakup keseluruhan tahap secara komprehensif yang disertai pedoman praktis, mulai dari persiapan tambak, persiapan air, persiapan tebar, proses penebaran benur, manajemen air, manajemen pakan, pengendalian penyakit hingga pelaksanaan panen. Standar operasi ini, bersifat dinamis seiring dengan permasalahan yang ditemukan di lapangan dan perkembangan teknologi budidaya udang yang ada.

1.1 SEBARAN GEOGRAFIS

1.1.1 Udang Windu (Penaeus monodon Fab.)

Udang windu (Penaeus monodon Fab.) tersebar luas pada sebagian besar Indo - Pasifik, di bagian utara adalah wilayah Jepang dan Taiwan, ke timur sampai Tahiti, ke selatan sampai Australia dan di barat hingga ke Afrika. Umumnya udang windu tersebar pada wilayah-wilayah yang terletak antara 30o  bujur timur sampai dengan 155o bujur timur dan 35o lintang utara sampai 35o lintang selatan.


1.1.2 Udang Putih (Litopenaeus vannamei)

Daerah penyebaran L. vannamei meliputi Pantai Pasifik, Meksiko, Laut Tengah dan Selatan Amerika.  Sebuah wilayah dimana suhu air secara umum  berkisar di atas 200 C sepanjang tahun.  Di sini merupakan tempat populasi L. vannamei  berada. Karena spesies ini relatif mudah untuk berkembang biak dan dibudidayakan, maka L. vannamei menjadi salah satu spesies andalan  dalam budidaya udang di beberapa negara dunia.

1.2 TAKSONOMI

1.2.1 Udang Windu (Penaeus monodon Fab.)

Pada tahun 1798, seorang ilmuwan bernama John Christ Fabricius melakukan identifikasi dan pencatatan atas udang windu dengan nama genus Penaeus Fabricius, dan dimasukkan ke dalam daftar resmi nama generik dalam bidang zoologi pada urutan nomor 498. Holthuis melakukan revisi terhadap nama spesifik monodon dan nama Penaeus monodon secara umum diterima sebagai nama spesies sampai saat ini. Penaeus monodon tidak mempunyai sub spesies dan ternyata Penaeus monodon manillensis yang dianggap sebagai sub spesies Penaeus monodon adalah spesies Penaeus semisulcatus   yang mengalami pertumbuhan abnormal.

Taksonomi udang windu adalah sebagai berikut :
Phylum                                    : Arthropoda
Sub phylum                             : Mandibulata
Class                                       : Crustacea
Sub class                                 : Malacostraca
Seri                                          : Eumalacostraca
Division                                   : Eucarida
Order                                      : Decapoda
Sub order                                : Natantia
Section/infra order                  : Penaeidea
Super family                            : Penaeoidea
Family                                                : Penaeidae Rafinesque, 1815
Sub family                               : Penaeinae
Genus                                     : Penaeus Fabricius, 1798
Sub genus                               : Penaeus
Species                                    : Penaeus monodon, Fab.
Nama ilmiah udang windu menjadi sebagai berikut : Genus (Sub genus) spesies atau Penaeus (Penaeus) monodon Fabricius, 1798.  Udang windu sendiri mempunyai banyak nama sesuai dengan daerah atau negara masing-masing. Di Indonesia, udang windu juga disebut udang pacet, udang bago, udang lotong, udang liling, udang baratan, udang palaspas, udang tepus atau udang user wedi. Di negara lain disebut juga Camaron tigre gigante (Spanyol), Crevette geante tigree (Perancis) dan Giant tiger prawn (Inggris). Penggunaan kata prawns dan shrimps dalam bahasa Inggris ternyata mengacu pada obyek yang berbeda. Holthuis (1980) menelusuri asal-muasal penggunaan kata shrimps dan prawns di berbagai negara. Secara umum kata shrimps mengacu kepada udang-udang yang lebih kecil dan kata prawns untuk yang lebih besar. Sedangkan menurut konvensi FAO (Food and Agriculture Organization), kata shrimps digunakan untuk udang-udang Penaeid yang berasal dari laut, sedangkan prawns sebutan untuk udang Palaemonid (udang air tawar).         

1.2.2 Udang Putih (Litopenaeus vannamei)

Taksonomi udang vannamei adalah sebagai berikut :
Phylum                                    :  Arthropoda
Class                                       :  Crustacea
Subclass                                  :  Malacostraca
Series                                       :  Eumalacostraca
Superorder                              :  Eucarida
Order                                      :  Decapoda
Suborder                                 :  Dendrobrachiata
Infraorder                                :  Peneidea
Superfamily                             :  Penaeoidea
Family                                                :  Penaeidae
Genus                                     :  Penaeus
Subgenus                                :  Litopenaeus
Species                                    :  Litopenaeus vannamei

Udang Putih (Litopenaeus vannamei) termasuk dalam :
  • Crustacea yang tergolong dalam ordo Decapoda seperti halnya lobster dan kepiting serta udang-udang lainya.  Kata decapoda berasal dari kata deca = 10, poda = kaki, hewan ini juga memiliki karapas yang berkembang menutupi bagian kepala dan dada menjadi satu (cephalothorax).
  • Famili Penaeidae yang menetaskan telurnya di luar tubuh, setelah dikeluarkan oleh si betina dan udang ini juga memiliki tanduk (rostrum).
  • Genus penaeus yang ditandai dengan adanya gigi pada bagian atas dan bawah rostrum juga ditandai dengan hilangnya bulu cambuk (setae) pada tubuhnya.    Secara khusus udang ini memiliki 2 gigi pada tepi rostrum bagian ventral  dan 8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal.
  • Subgenus Litopenaeus, yang ditandai dengan adanya organ seksual (thelycum) yang terbuka tanpa adanya tempat penampung sperma pada spesies betina.

Nama-nama lain dari udang putih Litopenaeus vannamei adalah Pacific white shrimp, West coast white shrimp, Penaeus vannamei, Camaron blanco Langostino, White leg shrimp (FAO), Crevette pattes blanches (FAO), Camaron pati blanco (FAO)

1.3    SIKLUS HIDUP UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) DAN UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei)
Merupakan spesies katadromus, udang dewasa memijah di laut lepas, sedangkan udang muda (juvenile) bermigrasi ke daerah pantai.

Setelah telur-telur menetas, larva hidup di laut lepas menjadi bagian dari zooplankton.  Saat stadium post larva mereka bergerak ke daerah dekat pantai dan perlahan-lahan turun ke dasar di daerah estuari dangkal.  Perairan dangkal ini memiliki kandungan nutrisi, salinitas dan suhu yang sangat bervariasi dibandingkan dengan laut lepas.

Setelah beberapa bulan hidup di daerah estuari, udang dewasa kembali ke lingkungan laut dalam dimana kematangan sel kelamin, perkawinan dan pemijahan terjadi.

Udang Putih (L. vannamei) dewasa kawin dan memijah pada kolom perairan lepas pantai (kedalaman ± 70 m) bagian Selatan, Tengah dan Utara Amerika dengan suhu 26–28 0C dan salinitas + 35 ppt.



1.4 MORFOLOGI DAN ANATOMI UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) DAN UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei)

Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala dan bagian badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas, tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai sepasang  anggota badan (kaki renang) yang beruas-ruas pula. Pada  ujung ruas keenam terdapat ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang berbentuk runcing.

a. Bagian Kepala
Bagian kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau Carapace. Bagian depan meruncing dan melengkung membentuk huruf S yang disebut cucuk kepala atau rostrum. Pada bagian atas rostrum  terdapat 7 gerigi dan bagian bawahnya 3 gerigi untuk P. monodon. Bagian kepala lainnya adalah :
1.     Sepasang mata majemuk (mata facet) bertangkai dan dapat digerakkan.
2.     Mulut terletak pada bagian bawah kepala dengan rahang (mandibula) yang kuat.
3.     Sepasang sungut besar atau antena.
4.     Dua pasang sungut kecil atau antennula.
5.     Sepasang sirip kepala (Scophocerit).
6.     Sepasang alat pembantu rahang (Maxilliped).
7.     Lima pasang kaki jalan (pereopoda), kaki jalan pertama, kedua dan ketiga bercapit yang dinamakan chela.
8.     Pada bagian dalam terdapat hepatopankreas, jantung dan insang.

b.  Bagian Badan dan Perut (Abdomen)
Bagian badan tertutup oleh 6 ruas, yang satu sama lainnya dihubungkan oleh selaput tipis. Ada lima pasang kaki renang (pleopoda) yang melekat pada ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan pada ruas keenam, kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas (uropoda). Di antara ekor kipas terdapat  ekor yang meruncing pada bagian ujungnya yang disebut telson. Organ dalam yang bisa diamati adalah usus (intestine) yang bermuara pada anus yang terletak pada ujung ruas keenam.
Gbr. 1.4. Morfologi Udang Windu (Sumber : Primavera, 1990).  
     
Gbr. 1.5. Anatomi Udang Windu (Sumber : Primavera, 1990).

1.5 FISIOLOGI

1.5.1 Udang Windu (Penaeus monodon)

Beberapa sifat udang windu yang perlu diketahui antara lain :

·         Nocturnal
Secara alami udang merupakan hewan nocturnal yang aktif pada malam hari untuk mencari makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi di dalam substrat atau lumpur.  Namun di tambak budidaya dapat dilakukan feeding dengan frekuensi yang lebih banyak untuk memacu pertumbuhannya.
·         Kanibalisme
Udang windu suka menyerang sesamanya, udang sehat akan menyerang udang yang  lemah terutama pada saat molting atau udang sakit. Sifat  kanibal akan muncul terutama bila udang tersebut dalam keadaan kurang pakan dan padat tebar tinggi.
·         Pakan dan kebiasaan makan (Feeding behaviour)
Udang windu hidup dan mencari makan di dasar perairan (benthic).  Udang windu merupakan hewan pemakan lambat dan terus-menerus dan digolongkan  ke dalam hewan pemakan segala macam bangkai (omnivorous scavenger) atau pemakan detritus dan karnivora yang memakan krustacea kecil, amphipoda dan polychaeta.
·         Molting
Udang windu melakukan ganti kulit (molting) secara berkala. Frekuensi molting menurun seiring dengan makin besarnya ukuran udang.  Pada stadium larva terjadi molting setiap 30-40 jam pada suhu 280 C.  Sedangkan juvenile dengan ABW 1-5 gram mengalami molting setiap 4-6 hari, selanjutnya pada ABW 15 gram periode molting terjadi sekitar 2 minggu sekali.
Kondisi lingkungan dan makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi frekuensi molting.  Sebagai contoh, suhu yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi molting.  Penyerapan oksigen oleh udang kurang efisien selam molting, akibatnya selama proses ini beberapa udang mengalami kematian akibat hypoxia atau kekurangan oksigen dalam tubuh.
·         Ammonothelic
Amonia dalam tubuh udang windu dikeluarkan lewat insang.

1.5.2 Udang Putih (Litopenaeus vannamei)

Semula digolongkan kedalam hewan pemakan segala macam bangkai (omnivorous scavenger) atau pemakan detritus.

Dari hasil penelitian terhadap usus udang menunjukkan bahwa udang ini adalah karnivora yang memakan krustacea kecil, amphipoda dan polychaeta.

Secara alami L. vannamei merupakan hewan nocturnal yang aktif pada malam hari untuk mencari makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi di dalam substrat atau lumpur.  Namun di tambak budidaya dapat dilakukan feeding dengan frekuensi yang lebih banyak untuk memacu pertumbuhannya.

L. vannamei membutuhkan makanan dengan kandungan protein sekitar 35%, lebih kecil jika dibandingkan udang-udang Asia seperti Penaeus monodon dan Penaeus japonicus yang membutuhkan pakan dengan kandungan protein hingga 45%. Dan ini akan berpengaruh terhadap harga pakan dan biaya produksi.

Pertumbuhan dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu : frekuensi molting (waktu antar molting) dan  kenaikan angka pertumbuhan (Angka pertumbuhan setiap kali molting). 
Kondisi lingkungan dan makanan merupakan factor utama yang mempengaruhi frekuensi molting.  Sebagai contoh, suhu yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi molting.  Penyerapan oksigen oleh udang kurang efisien selam molting, akibatnya selama proses ini beberapa udang mengalami kematian akibat hypoxia atau kekurangan oksigen dalam tubuh.

Sering juga secara nyata molting merupakan proses yang mencerminkan tingkat stres pada udang, sehingga para aquaculturist dituntut untuk tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi (khususnya penurunan) pada frekuensi molting. Selama proses molting berlangsung, terjadi terjadi pemecahan kutikula antara karapas dengan intercalary sclerite, dimana pada bagian cephalothorax dan anterior appendages tertarik atau meregang. 

Karapas baru, yang tumbuh pada saat pertama setelah molting sangat lunak dan makin lama makin mengeras menyesuaikan ukuran tubuh udang.

Frekuensi molting pada L. vannamei menurun seiring dengan makin besarnya ukuran udang.  Pada stadium larva terjadi molting setiap 30-40 jam pada suhu 280 C.  Sedangkan juvenile dengan ABW 1-5 gram mengalami molting setiap 4-6 hari, selanjutnya pada ABW 15 gram periode molting terjadi sekitar 2 minggu sekali.

1.6  PERGANTIAN KULIT (MOLTING)

Semua golongan arthropoda, termasuk udang mengalami proses pergantian kulit atau molting secara periodik, sehingga ukuran tubuhnya bertambah besar. Agar udang bisa tumbuh menjadi besar,  secara periodik akan melepaskan jaringan penghubung antara epidermis dan kutikula ekstraseluler, segera melepaskan diri dari kutikula (cangkang), menyerap air untuk memperbesar tubuh dan eksoskeleleton yang baru dan selanjutnya terjadi proses pengerasan dengan mineral-mineral dan protein. Proses molting ini menghasilkan peningkatan ukuran tubuh (pertumbuhan) secara diskontinyu dan secara berkala. Ketika molting, tubuh udang menyerap air dan bertambah besar, kemudian terjadi pengerasan kulit. Setelah kulit luarnya keras, ukuran tubuh udang tetap sampai pada siklus molting berikutnya.

Dalam kondisi molting, udang sangat rentan terhadap serangan udang-udang lainnya, karena disamping kondisinya masih sangat lemah, kulit luarnya belum mengeras, udang pada saat molting mengeluarkan cairan molting yang mengandung asam amino, enzim dan senyawa organik hasil dekomposisi parsial eksoskeleton yang baunya sangat merangsang nafsu makan udang. Hal tersebut bisa membangkitkan sifat kanibalisme udang yang sehat.

Ekdisis (proses molting) merupakan suatu rangkaian proses yang sangat kompleks yang dimulai beberapa hari atau bahkan beberapa minggu sebelumnya. Pada dasarnya setiap jaringan terlibat dalam persiapan untuk molting yang akan datang, yaitu :

a.      Cadangan lemak dalam jaringan hepatopankreas dimobilisasi.
b.     Pembelahan sel meningkat.
c.      Diproduksi mRNA yang baru, diikuti oleh sintesis senyawa protein baru.
d.     Terjadi perubahan tingkah-laku.

Proses yang rumit ini melibatkan kordinasi sistem hormonal dalam tubuh udang.
Siklus molting berlangsung melalui beberapa tahapan. Pada beberapa spesies, masing-masing mempunyai tahapan dan definisi sendiri-sendiri. Pada udang ada 4 tahapan, yaitu:

Postmolt
Postmolt adalah tahapan beberapa saat setelah proses eksuviasi (penanggalan eksoskeleton yang lama). Pada tahapan ini terjadi pengembangan eksoskeleton yang disebabkan oleh meningkatnya volume hemolymph akibat terserapnya air ke dalam tubuh. Air terserap melalui epidermis, insang dan usus. Setelah beberapa jam atau hari (tergantung pada panjangnya siklus molting), eksoskeleton yang baru akan mengeras. 
Intermolt
Pada tahapan ini, eksoskeleton menjadi semakin keras karena adanya deposisi mineral dan protein. Eksoskeleton (cangkang) udang relatif lebih tipis dan lunak dibandingkan dengan kepiting dan lobster.

Early Premolt
Pada tahapan early premolt (premolt awal) mulai terbentuk epicuticle baru di bawah lapisan endocuticle. Tahapan premolt dimulai dengan suatu peningkatan konsentrasi hormon molting dalam hemolymph (darah).
        
Late Premolt
Pada tahapan premolt akhir terbentuk lagi lapisan exocuticle baru di bawah lapisan epicuticle baru yang terbentuk pada tahapan early premolt. Kemudian diikuti dengan pemisahan cangkang lama  dengan cangkang yang baru terbentuk. Eksoskeleton (cangkang) lama akan terserap sebagian dan cadangan energi dimobilisasi dari hepatopankreas. Ecdysis (pemisahan cangkang) sebagai suatu tahapan hanya berlangsung beberapa menit saja, dimulai dengan membukanya cangkang lama pada jaringan penghubung bagian dorsal antara thorax  dengan abdomen, dan selesai ketika udang melepaskan diri dari cangkangnya yang lama. Siklus molting dikendalikan oleh hormon molting yang dihasilkan oleh kelenjar molting yang terdapat di dalam ruang anterior branchium, dan disebut Y - organ.

0 komentar :

Posting Komentar