BAB I. PENDAHULUAN
Teknologi budidaya udang terus
memerlukan penelitian dan pengembangan dari waktu ke waktu. Walaupun dalam dua
dasawarsa terakhir telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, namun jika
dibandingkan dengan teknologi pertanian (misalnya hortikultura) atau peternakan
(misalnya unggas), teknologi budidaya udang masih sangat jauh ketinggalan.
Teknologi pertanian dan peternakan telah mencapai tahap genetic engineering
(rekayasa genetika) dimana secara genetik telah ditemukan bibit unggul yang
lebih produktif dan tahan terhadap penyakit. Sedangkan teknologi budidaya
udang baru memasuki tahap genetic
mapping (pemetaan genetika). Perkembangan terakhir teknologi budidaya udang
difokuskan pada genetic improvement (perbaikan genetika) melalui
proses seleksi induk secara ketat. Namun proses genetic improvement ini
masih berada pada tahap seleksi secara alami.
Tingkat keberhasilan dari penerapan
teknologi budidaya udang sangat bergantung pada tingkat penguasaan teknologi
lingkungan perairan (sebagai tempat hidup udang) dan biologi udang itu sendiri.
Lingkungan perairan merupakan ekosistem yang sangat kompleks, yang terdiri dari
komponen biotik dan komponen abiotik. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang
benar tentang ekosistem perairan (tambak) sehingga dapat senantiasa menjaga
keseimbangannya. Disamping itu, pemahaman tentang biologi udang merupakan hal
yang tidak kalah penting, mulai dari anatomi, morfologi, fisiologi, habitat dan
kebiasaan makan sampai pada pemahaman structure genetiknya.
Kondisi geografis juga memberikan
pengaruh yang berbeda dalam hal struktur dan tekstur tanah, kualitas fisika dan
kimia air serta kandungan unsur hara. Demikian juga dengan perbedaan iklim dan
perubahan cuaca. Ini semua akan mempengaruhi pola dan jenis teknologi yang
diterapkan. Pengaruh yang muncul dari perubahan cuaca, juga terlihat pada
tingkat penyerangan penyakit. Pada musim penghujan misalnya, biasanya jumlah
tambak yang terinfeksi penyakit lebih banyak dibandingkan pada musim kemarau.
Hal ini diakibatkan oleh tingginya potensi fluktuasi kualitas air (terutama
temperatur dan salinitas) yang mengakibatkan meningkatnya potensi stres udang
dan virulensi penyakit.
Dari gambaran kondisi di atas
untuk membuat standar operasi (SOP = Standar Operation
Procedure) dalam budidaya udang
relatif sulit. Namun demikian, dengan menyadari dan memahami
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan budidaya udang serta variasi
kondisi alam tersebut, dapat disusun
sebuah buku panduan yang mencakup keseluruhan tahap secara komprehensif yang
disertai pedoman praktis, mulai dari persiapan tambak, persiapan air, persiapan
tebar, proses penebaran benur, manajemen air, manajemen pakan, pengendalian
penyakit hingga pelaksanaan panen. Standar operasi ini, bersifat dinamis seiring
dengan permasalahan yang ditemukan di lapangan dan perkembangan teknologi
budidaya udang yang ada.
1.1 SEBARAN GEOGRAFIS
1.1.1 Udang Windu (Penaeus monodon
Fab.)
Udang windu (Penaeus
monodon Fab.) tersebar luas pada sebagian besar Indo - Pasifik, di bagian
utara adalah wilayah Jepang dan Taiwan, ke timur sampai Tahiti, ke selatan
sampai Australia dan di barat hingga ke Afrika. Umumnya udang windu tersebar
pada wilayah-wilayah yang terletak antara 30o bujur timur sampai dengan 155o bujur
timur dan 35o lintang utara sampai 35o lintang selatan.
1.1.2 Udang Putih (Litopenaeus vannamei)
Daerah penyebaran L. vannamei
meliputi Pantai Pasifik, Meksiko, Laut Tengah dan Selatan Amerika. Sebuah wilayah dimana suhu air secara umum berkisar di atas 200 C sepanjang
tahun. Di sini merupakan tempat populasi
L. vannamei berada. Karena spesies ini relatif mudah
untuk berkembang biak dan dibudidayakan, maka L. vannamei menjadi salah satu spesies andalan dalam budidaya udang di beberapa negara
dunia.
1.2 TAKSONOMI
1.2.1 Udang
Windu (Penaeus monodon Fab.)
Pada tahun 1798, seorang ilmuwan bernama John Christ Fabricius melakukan
identifikasi dan pencatatan atas udang windu dengan nama genus Penaeus Fabricius, dan dimasukkan ke
dalam daftar resmi nama generik dalam bidang zoologi pada urutan nomor 498.
Holthuis melakukan revisi terhadap nama spesifik monodon dan nama Penaeus
monodon secara umum diterima sebagai nama spesies sampai saat ini. Penaeus monodon tidak mempunyai sub
spesies dan ternyata Penaeus monodon
manillensis yang dianggap sebagai sub spesies Penaeus monodon adalah spesies
Penaeus semisulcatus yang mengalami
pertumbuhan abnormal.
Taksonomi udang windu adalah sebagai berikut :
Phylum :
Arthropoda
Sub phylum :
Mandibulata
Class :
Crustacea
Sub class :
Malacostraca
Seri :
Eumalacostraca
Division :
Eucarida
Order :
Decapoda
Sub order :
Natantia
Section/infra order :
Penaeidea
Super family :
Penaeoidea
Family :
Penaeidae Rafinesque, 1815
Sub family :
Penaeinae
Genus :
Penaeus Fabricius, 1798
Sub genus :
Penaeus
Species :
Penaeus monodon, Fab.
Nama ilmiah udang windu menjadi sebagai berikut : Genus (Sub genus) spesies
atau Penaeus
(Penaeus)
monodon
Fabricius, 1798. Udang windu
sendiri mempunyai banyak nama sesuai dengan daerah atau negara masing-masing.
Di Indonesia, udang windu juga disebut udang pacet, udang bago, udang lotong,
udang liling, udang baratan, udang palaspas, udang tepus atau udang user wedi.
Di negara lain disebut juga Camaron tigre gigante (Spanyol), Crevette geante
tigree (Perancis) dan Giant tiger prawn (Inggris). Penggunaan kata prawns dan
shrimps dalam bahasa Inggris ternyata mengacu pada obyek yang berbeda. Holthuis
(1980) menelusuri asal-muasal penggunaan kata shrimps dan prawns di berbagai
negara. Secara umum kata shrimps mengacu kepada udang-udang yang lebih kecil
dan kata prawns untuk yang lebih besar. Sedangkan menurut konvensi FAO (Food
and Agriculture Organization), kata shrimps digunakan untuk udang-udang Penaeid
yang berasal dari laut, sedangkan prawns sebutan untuk udang Palaemonid (udang air tawar).
1.2.2 Udang
Putih (Litopenaeus vannamei)
Taksonomi udang vannamei adalah sebagai berikut :
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Subclass : Malacostraca
Series : Eumalacostraca
Superorder : Eucarida
Order : Decapoda
Suborder : Dendrobrachiata
Infraorder : Peneidea
Superfamily : Penaeoidea
Family : Penaeidae
Genus : Penaeus
Subgenus :
Litopenaeus
Species :
Litopenaeus vannamei
Udang Putih (Litopenaeus vannamei) termasuk dalam :
- Crustacea yang tergolong dalam ordo Decapoda seperti halnya lobster dan kepiting serta udang-udang lainya. Kata decapoda berasal dari kata deca = 10, poda = kaki, hewan ini juga memiliki karapas yang berkembang menutupi bagian kepala dan dada menjadi satu (cephalothorax).
- Famili Penaeidae yang menetaskan telurnya di luar tubuh, setelah dikeluarkan oleh si betina dan udang ini juga memiliki tanduk (rostrum).
- Genus penaeus yang ditandai dengan adanya gigi pada bagian atas dan bawah rostrum juga ditandai dengan hilangnya bulu cambuk (setae) pada tubuhnya. Secara khusus udang ini memiliki 2 gigi pada tepi rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal.
- Subgenus Litopenaeus, yang ditandai dengan adanya organ seksual (thelycum) yang terbuka tanpa adanya tempat penampung sperma pada spesies betina.
Nama-nama lain dari udang putih Litopenaeus
vannamei adalah Pacific white shrimp,
West coast white shrimp, Penaeus
vannamei, Camaron blanco Langostino, White leg shrimp (FAO), Crevette pattes
blanches (FAO), Camaron pati blanco
(FAO)
1.3
SIKLUS HIDUP UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) DAN
UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei)
Merupakan spesies katadromus, udang dewasa memijah di laut lepas, sedangkan
udang muda (juvenile) bermigrasi ke
daerah pantai.
Setelah telur-telur menetas, larva hidup di laut lepas menjadi bagian dari zooplankton. Saat stadium post larva mereka bergerak ke
daerah dekat pantai dan perlahan-lahan turun ke dasar di daerah estuari
dangkal. Perairan dangkal ini memiliki
kandungan nutrisi, salinitas dan suhu yang sangat bervariasi dibandingkan
dengan laut lepas.
Setelah beberapa bulan hidup di daerah estuari, udang dewasa kembali ke
lingkungan laut dalam dimana kematangan sel kelamin, perkawinan dan pemijahan
terjadi.
Udang Putih (L. vannamei) dewasa kawin dan memijah pada kolom
perairan lepas pantai (kedalaman ± 70 m) bagian Selatan, Tengah dan Utara
Amerika dengan suhu 26–28 0C dan salinitas + 35 ppt.
1.4 MORFOLOGI DAN ANATOMI UDANG
WINDU (Penaeus monodon Fab.) DAN
UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei)
Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala dan bagian
badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut cephalothorax yang
terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8 ruas di bagian dada.
Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas, tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai
sepasang anggota badan (kaki renang)
yang beruas-ruas pula. Pada ujung ruas
keenam terdapat ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang berbentuk runcing.
a. Bagian Kepala
Bagian kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau Carapace. Bagian depan
meruncing dan melengkung membentuk huruf S yang disebut cucuk kepala atau
rostrum. Pada bagian atas rostrum
terdapat 7 gerigi dan bagian bawahnya 3 gerigi untuk P. monodon. Bagian kepala lainnya adalah
:
1. Sepasang mata majemuk (mata facet) bertangkai dan
dapat digerakkan.
2. Mulut terletak pada bagian bawah kepala dengan
rahang (mandibula) yang kuat.
3. Sepasang sungut besar atau antena.
4. Dua pasang sungut kecil atau antennula.
5. Sepasang sirip kepala (Scophocerit).
6. Sepasang alat pembantu rahang (Maxilliped).
7. Lima pasang kaki jalan (pereopoda), kaki jalan
pertama, kedua dan ketiga bercapit yang dinamakan chela.
8. Pada bagian dalam terdapat hepatopankreas, jantung
dan insang.
b. Bagian
Badan dan Perut (Abdomen)
Bagian badan tertutup oleh 6 ruas, yang satu sama lainnya dihubungkan oleh
selaput tipis. Ada lima pasang kaki renang (pleopoda) yang melekat pada ruas
pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan pada ruas keenam, kaki renang
mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas (uropoda). Di antara ekor kipas
terdapat ekor yang meruncing pada bagian
ujungnya yang disebut telson. Organ dalam yang bisa diamati adalah usus
(intestine) yang bermuara pada anus yang terletak pada ujung ruas keenam.
![](file:///C:\Users\RYANRI~1\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image008.jpg)
Gbr. 1.4. Morfologi Udang Windu (Sumber : Primavera, 1990).
![](file:///C:\Users\RYANRI~1\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image010.jpg)
Gbr. 1.5. Anatomi Udang Windu (Sumber : Primavera, 1990).
1.5 FISIOLOGI
1.5.1 Udang Windu (Penaeus monodon)
Beberapa sifat udang windu yang perlu diketahui antara lain :
·
Nocturnal
Secara alami udang merupakan hewan nocturnal yang aktif pada malam hari
untuk mencari makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi
di dalam substrat atau lumpur. Namun di
tambak budidaya dapat dilakukan feeding
dengan frekuensi yang lebih banyak untuk memacu pertumbuhannya.
·
Kanibalisme
Udang windu suka menyerang sesamanya, udang sehat
akan menyerang udang yang lemah terutama
pada saat molting atau udang sakit. Sifat
kanibal akan muncul terutama bila udang tersebut dalam keadaan kurang
pakan dan padat tebar tinggi.
·
Pakan dan
kebiasaan makan (Feeding behaviour)
Udang windu hidup dan mencari makan di dasar
perairan (benthic). Udang windu
merupakan hewan pemakan lambat dan terus-menerus dan digolongkan ke dalam hewan pemakan segala macam bangkai (omnivorous scavenger) atau pemakan detritus dan karnivora yang
memakan krustacea kecil, amphipoda dan polychaeta.
·
Molting
Udang windu melakukan ganti kulit (molting) secara
berkala. Frekuensi molting menurun seiring dengan makin besarnya ukuran
udang. Pada stadium larva terjadi
molting setiap 30-40 jam pada suhu 280 C. Sedangkan juvenile dengan ABW 1-5 gram
mengalami molting setiap 4-6 hari, selanjutnya pada ABW 15 gram periode molting
terjadi sekitar 2 minggu sekali.
Kondisi lingkungan dan makanan merupakan faktor
utama yang mempengaruhi frekuensi molting.
Sebagai contoh, suhu yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi
molting. Penyerapan oksigen oleh udang
kurang efisien selam molting, akibatnya selama proses ini beberapa udang
mengalami kematian akibat hypoxia
atau kekurangan oksigen dalam tubuh.
·
Ammonothelic
Amonia dalam tubuh udang windu dikeluarkan lewat insang.
1.5.2 Udang Putih (Litopenaeus vannamei)
Semula digolongkan kedalam hewan pemakan segala
macam bangkai (omnivorous scavenger)
atau pemakan detritus.
Dari hasil penelitian terhadap usus udang
menunjukkan bahwa udang ini adalah karnivora yang memakan krustacea kecil,
amphipoda dan polychaeta.
Secara alami L.
vannamei merupakan hewan nocturnal yang
aktif pada malam hari untuk mencari makan, sedangkan pada siang hari sebagian
dari mereka bersembunyi di dalam substrat atau lumpur. Namun di tambak budidaya dapat dilakukan feeding dengan frekuensi yang lebih
banyak untuk memacu pertumbuhannya.
L.
vannamei membutuhkan makanan
dengan kandungan protein sekitar 35%, lebih kecil jika dibandingkan udang-udang
Asia seperti Penaeus monodon dan Penaeus japonicus yang membutuhkan pakan
dengan kandungan protein hingga 45%. Dan ini akan berpengaruh terhadap harga
pakan dan biaya produksi.
Pertumbuhan dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu
: frekuensi molting (waktu antar molting) dan
kenaikan angka pertumbuhan (Angka pertumbuhan setiap kali molting).
Kondisi lingkungan dan makanan merupakan factor
utama yang mempengaruhi frekuensi molting.
Sebagai contoh, suhu yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi
molting. Penyerapan oksigen oleh udang
kurang efisien selam molting, akibatnya selama proses ini beberapa udang
mengalami kematian akibat hypoxia
atau kekurangan oksigen dalam tubuh.
Sering juga secara nyata molting merupakan proses
yang mencerminkan tingkat stres pada udang, sehingga para aquaculturist dituntut untuk tanggap terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi (khususnya penurunan) pada frekuensi molting. Selama proses
molting berlangsung, terjadi terjadi pemecahan kutikula antara karapas dengan intercalary sclerite, dimana pada bagian
cephalothorax dan anterior appendages tertarik atau meregang.
Karapas baru, yang tumbuh pada saat pertama
setelah molting sangat lunak dan makin lama makin mengeras menyesuaikan ukuran
tubuh udang.
Frekuensi molting pada L. vannamei menurun seiring dengan makin
besarnya ukuran udang. Pada stadium
larva terjadi molting setiap 30-40 jam pada suhu 280 C. Sedangkan juvenile dengan ABW 1-5 gram
mengalami molting setiap 4-6 hari, selanjutnya pada ABW 15 gram periode molting
terjadi sekitar 2 minggu sekali.
1.6
PERGANTIAN KULIT (MOLTING)
Semua golongan arthropoda, termasuk udang mengalami proses pergantian kulit
atau molting secara periodik, sehingga ukuran tubuhnya bertambah besar. Agar
udang bisa tumbuh menjadi besar, secara
periodik akan melepaskan jaringan penghubung antara epidermis dan kutikula
ekstraseluler, segera melepaskan diri dari kutikula (cangkang), menyerap air
untuk memperbesar tubuh dan eksoskeleleton yang baru dan selanjutnya terjadi
proses pengerasan dengan mineral-mineral dan protein. Proses molting ini
menghasilkan peningkatan ukuran tubuh (pertumbuhan) secara diskontinyu dan
secara berkala. Ketika molting, tubuh udang menyerap air dan bertambah besar,
kemudian terjadi pengerasan kulit. Setelah kulit luarnya keras, ukuran tubuh udang
tetap sampai pada siklus molting berikutnya.
Dalam kondisi molting, udang sangat rentan terhadap serangan udang-udang
lainnya, karena disamping kondisinya masih sangat lemah, kulit luarnya belum
mengeras, udang pada saat molting mengeluarkan cairan molting yang mengandung
asam amino, enzim dan senyawa organik hasil dekomposisi parsial eksoskeleton
yang baunya sangat merangsang nafsu makan udang. Hal tersebut bisa
membangkitkan sifat kanibalisme udang yang sehat.
Ekdisis (proses molting) merupakan suatu rangkaian proses yang sangat
kompleks yang dimulai beberapa hari atau bahkan beberapa minggu sebelumnya.
Pada dasarnya setiap jaringan terlibat dalam persiapan untuk molting yang akan
datang, yaitu :
a. Cadangan lemak dalam jaringan hepatopankreas
dimobilisasi.
b. Pembelahan sel meningkat.
c. Diproduksi mRNA yang baru, diikuti oleh sintesis
senyawa protein baru.
d. Terjadi perubahan tingkah-laku.
Proses yang rumit ini melibatkan kordinasi sistem hormonal dalam tubuh
udang.
Siklus molting berlangsung melalui beberapa tahapan. Pada beberapa spesies,
masing-masing mempunyai tahapan dan definisi sendiri-sendiri. Pada udang ada 4
tahapan, yaitu:
Postmolt
Postmolt adalah tahapan beberapa saat setelah proses eksuviasi (penanggalan
eksoskeleton yang lama). Pada tahapan ini terjadi pengembangan eksoskeleton
yang disebabkan oleh meningkatnya volume hemolymph akibat terserapnya air ke
dalam tubuh. Air terserap melalui epidermis, insang dan usus. Setelah beberapa
jam atau hari (tergantung pada panjangnya siklus molting), eksoskeleton yang
baru akan mengeras.
Intermolt
Pada tahapan ini, eksoskeleton menjadi semakin keras karena adanya deposisi
mineral dan protein. Eksoskeleton (cangkang) udang relatif lebih tipis dan
lunak dibandingkan dengan kepiting dan lobster.
Early Premolt
Pada tahapan early premolt (premolt awal) mulai terbentuk epicuticle baru
di bawah lapisan endocuticle. Tahapan premolt dimulai dengan suatu peningkatan
konsentrasi hormon molting dalam hemolymph (darah).
Late Premolt
Pada tahapan premolt akhir terbentuk lagi lapisan exocuticle baru di bawah
lapisan epicuticle baru yang terbentuk pada tahapan early premolt. Kemudian
diikuti dengan pemisahan cangkang lama
dengan cangkang yang baru terbentuk. Eksoskeleton (cangkang) lama akan
terserap sebagian dan cadangan energi dimobilisasi dari hepatopankreas.
Ecdysis (pemisahan cangkang) sebagai suatu tahapan hanya berlangsung
beberapa menit saja, dimulai dengan membukanya cangkang lama pada jaringan
penghubung bagian dorsal antara thorax
dengan abdomen, dan selesai ketika udang melepaskan diri dari
cangkangnya yang lama. Siklus molting dikendalikan oleh hormon molting yang
dihasilkan oleh kelenjar molting yang terdapat di dalam ruang anterior
branchium, dan disebut Y - organ.
0 komentar :
Posting Komentar